wangi yang menguar dari rumah kedua

masih teringat jelas di kepala kalau yang menyambutku pertama ketika berpindah jauh dari rumah adalah si pemilik kamar hijau rapuh karena lapuk.

sapaan hangat pertamanya seakan bicara “aku akan bantu jaga kamu yang dititip mama papa”

afeksi yang ia beri cukup dengan dua centong nasi dan lauk pagi yang katanya untuk isi perut hari ini.

naik turun, mondar mandir, buka tutup pintu kamar memanggil anaknya untuk makan yang entah akhirnya akan keluar atau hanya terus mendekam.

tapi sayangnya tak pernah berkurang atau bahkan pudar.

sangat terasa rasa sayangnya sampai rela menjawab telepon tuk bantu bukakan pintu malam hari, selepas aku pergi.

sangat dirasa tulusnya sampai rela membuka mata yang tadinya sudah menyatu dengan doa.

iya, hanya untuk menuruti rasa tak nyaman sebab perutku berteriak butuh pertolongan.

ketika terbangun dari mimpi panjang, aku melihatnya di jemuran, sedang menjemur pakaian, pakaian yang ketumpahan kuah soto daging andalan.

sejak pukul tiga sudah dirasa hadirnya, melalui denting sendok garpu dan peralatan masak lainnya.

mikrofon menyala, meneriaki satu persatu nama, segera katanya.

sangat tampak dari wajahnya yang menahan kantuk, tapi sedia duduk tuk tunggu anaknya masuk.

tongkol bumbu merah akan selalu jadi top pertama.

tawaran yang keluar dan tak pernah terlewatkan darinya itu kesediaan membawakan bekal makan, katanya badanku butuh banyak asupan.

tergambar haru ketika aku kembali utuh untuk ia rengkuh, rindu katanya.

terbentuk senyuman ketika aku kembali rasakan wangi makanan, hangat pelukan, tawa guyonan rasanya tak pernah salah memilih ini sebagai rumah kedua.

rumah yang jauh dari sebenarnya, tapi tetap bisa dirasa peluknya, dicium wanginya, wangi dari orang didalamnya yang selalu sedia jadi tameng pertama.